dengan mendirikan rumah. Perlu saling cocok
antara pondasi, jumlah lantai, ketebalan dinding,
dan beratnya atap. Cuma bedanya, membangun
rumah tangga tak perlu mandor.
Pernahkah terbayang kalau ada pihak lain yang
selalu khawatir dengan bangunan rumah tangga
orang lain. Pertanyaan itu mudah dijawab. Dan
jawabannya siapa lagi kalau bukan orang tua.
Merekalah pihak yang kerap khawatir dengan
keberlangsungan rumah tangga anak-anaknya.
Hal itu memang wajar. Ibarat membelikan anak
sepeda baru, para orang tua terikat pada dua rasa:
puas karena bisa membahagiakan anaknya, dan
khawatir karena ada ancaman baru yang bisa
membuat anak terluka. Di satu sisi, bersepeda
bisa membangun keterampilan baru buat anak.
Tapi di lain sisi, peluang anak terjatuh dan
berdarah juga membesar.
Seperti itu juga rasa orang tua saat melepas
gadisnya berlayar pada bahtera baru rumah
tangga. Ada rasa puas karena sukses menunaikan
amanah. Ada juga gundah kalau-kalau rumah
tangga anak tak berlangsung lama. Terlebih lagi
ketika proses pernikahan terasa tak 'normal'. Hal
itulah yang kerap dirasakan Pak Dede.
Bapak usia lima puluhan ini bisa dibilang cuci
gudang. Gadis bungsunya baru saja menikah.
Usai sudah tugasnya menunaikan amanah lima
anak. Semuanya sudah mandiri. Semuanya
sudah berkeluarga.
Namun, ada yang lain buat yang terakhir. Gadis
bungsu kesayangannya tiba-tiba minta nikah.
Permintaan ini seperti bom di siang bolong.
Heboh! Khususnya buat Pak Dede. "Bayangkan,
kenalan sama cowok saja belum pernah. Eh,
tahu-tahu udah punya calon suami!" ucap Pak
Dede suatu kali.
Ia nggak habis pikir, gimana caranya tiba-tiba ada
calon suami. Tanpa kenalan. Tanpa pacaran. Pak
Dede tahu benar bungsunya. Beda dengan kakak-
kakaknya yang hobi gaul. Tiap malam minggu,
semua anaknya selalu keluar. Kecuali si bungsu
itu.
Seumur-umur, Pak Dede belum pernah
menerima tamu pemuda yang nyari-nyari
bungsunya. Kecuali suatu kali. Dan hal itu telah
membuktikan kalau ucapan bungsunya benar-
benar serius. Pemuda itu bilang ke Pak Dede,
"Maksud saya ke sini mau melamar anak Bapak!"
Hampir-hampir saja, Pak Dede pingsan.
Kalau bukan karena khawatir bungsunya bisa
patah arang, Pak Dede mungkin akan menolak
mentah-mentah. Lamaran itu pun ia terima. Dan
pernikahan pun akhirnya berlangsung meriah. Ia
yakin, anaknya yang berjilbab itu tidak mungkin
hamil lebih dulu. Lha, melihat orang pacaran saja
belum pernah. Cuma satu hal yang mengusik
pikiran Pak Dede: dukun mana yang semanjur
itu? Benar-benar tok-cer! Apalagi menantu
barunya itu bisa dibilang biasa-biasa saja. Kayak
tidak, ganteng juga jauh.
Itulah kenapa, Pak Dede menolak ketika
bungsunya mau pindah rumah. "Jangan! Tinggal
bareng aja sama ayah dan ibu," ucapnya
menanggapi permintaan anak dan menantunya.
Pak Dede pun berdalih kalau ia dan isterinya akan
kesepian ditinggal anak-anak.
Sebenarnya, Pak Dede punya alasan sendiri. Ia
masih penasaran, hal apa yang membuat
anaknya bisa cinta sama menantunya itu. Hampir
tiap malam, Pak Dede menguntit sang menantu.
Kalau kedapatan sedang nyebar kemenyan, ia
akan langsung tangkap.
Tujuh hari tujuh malam, Pak Dede terus
menguntit. Hingga di malam kedelapan,
menantunya keluar kamar. Waktu menunjukkan
pukul dua malam. Suatu hal yang tidak lazim buat
kebiasaan pengantin baru. Soalnya, di kamar itu
sudah ada kamar mandi. Buat apa lagi keluar
kamar kalau bukan urusan mistik. Pak Dede tetap
menunggu. Ia makin curiga ketika menantunya
menuju ruang atas. Padahal, di atas cuma ada
tiga ruangan: menjemur, ruang baca, dan
mushola. Pak Dede makin penasaran.
Setelah tiba di atas, ia perhatikan kalau
menantunya masuk ke ruang mushola. "Gila,
mau apa tengah malam di mushola?" bisik batin
Pak Dede. Soalnya, ia sendiri jarang salat di situ.
Biasanya cuma di kamar. Ia menunggu saat
tepat. Pak Dede yakin, tak lama lagi, akan ada
suara mantera-mantera dan bau aneh. Ternyata,
tidak. Sayup-sayup, Pak Dede mendengar orang
membaca Alquran. Suaranya mengalun merdu.
Indah sekali. Hampir-hampir saja Pak Dede
menangis karena untaian iramanya yang begitu
menyentuh. "Luar biasa. Menantuku ternyata
bukan orang sembarangan!" batin Pak Dede
sambil kembali ke kamar tidur.
Kini, Pak Dede mengakui kalau menantunya itu
orang alim. Tapi, ia masih ragu. Ia yakin, kalau
pernikahan yang prematur pasti akan ada
ketidakcocokan. Hampir tak pernah bosan, Pak
Dede mencuri dengar dari balik pintu kamar
anaknya.
Benar saja. Dari kamar seperti ada suara ribut.
Anak dan menantunya sedang berebut
omongan. "Nggak bisa, kamu yang salah! Akang
yang salah!" Dan, seterusnya. Spontan, Pak Dede
mengetuk pintu kamar. Sudah tak sabar ia ingin
memberi nasihat.
Setelah pintu kamar terbuka, Pak Dede langsung
bersuara. "Anakku. Itulah sebabnya jika
pernikahan terburu-buru. Kamu akan terus
bertengkar!" Anehnya, ucapan itu justru
membuat anak dan menantunya tersenyum. Dan
si bungsu pun bilang, "Ayah sayang, kami bukan
sedang cekcok. Kami lagi beda pendapat soal ada-
tidaknya Alqaedah!"
Pak Dede cuma bingung. Ia pun menggaru-garuk
kepala. Di pikirannya cuma ada satu pertanyaan:
makanan khas mana Alkaedah itu?
Kirimkan teman lain ingin ikut membaca juga. Terimakasih
0 komentar:
Posting Komentar