Ar-Rahim, Yang Maha Penyayang Tanpa Batas, adalah salah satu asma al-husna, sebuah kualitas yang sesungguhnya membuat kita, manusia dan semesta seisinya, mesti bersyukur di setiap tarikan nafas. Mbah Nyut pernah berpikir, mengapa tempat bersemainya benih kehidupan dinamakan rahim pula. Adakah semacam hubungannya? Mbah Nyut lalu memberanikan diri bertanya kepada Syaikhuna.
Beliau menerangkan…
Allah berfirman dalam hadis Qudsi: “Akulah Tuhan dan Aku adalah Yang Maha Pengasih. Aku ciptakan rahim, dan Aku berikan padanya nama yang berasal dari Nama-Ku sendiri (ar-Rahim). Maka, barangsiapa “memutuskan” rahim, niscaya Aku akan memutuskan [dia dari-Ku], dan barang siapa “menyatukan” rahim, Aku akan menyatukan diri-Ku dengannya.”
Pada rahimlah kita saksikan miniatur kekuasaan daya cipta Allah. Allah berfirman dalam hadis Qudsi “Aku adalah perbendaharaan tersembunyi, dan Aku cinta untuk dikenal, maka Kuciptakan dunia agar Aku bisa dikenal.:
“Aku” Ilahiah adalah “ayah”, dan perbendaharaan tersembunyi adalah “ibu”; cinta adalah yang menggerakkan perbendaharaan tersembunyi itu menjadi maujud, yakni “anak.” Rahim, dari sisi jasmani, adalah “wadah” yang melahirkan diri kita sebagai manusia (bashar). Namun, dari sisi spiritual, hakikat kelahiran adalah ketika kita “diri ruhani” kita dilahirkan. Perlambang hakikat keruhanian murni adalah Isa as. Dan Isa lahir dari rahim yang masih suci, Perawan Maryam. Ini adalah misteri besar tentang kelahiran ruhani yang sesungguhnya dialami oleh setiap manusia.
Nafas ar-Rahman adalah tiupan yang abadi; Allah tidak sekali saja meniup lantas berhenti, sebab tiupannya adalah tiupan abadi. Tiupan ar-Rahman terus berlangsung tanpa akhir, karena Allah Maha Kekal dan aktivitasnya adalah Abadi – Allah senantiasa dalam kesibukan (S. ar-Rahman). Artinya, kita senantiasa “dibuahi” oleh Ruh Ilahi. Pada tiap momen sesungguhnya kita punya kemungkinan untuk menjadi manusia yang sesungguhnya, insan al-kamil. Setiap saat kita mempunyai kesempatan untuk menjadi “Ibu” – yakni yang melahirkan entitas-entitas permanen yang tersimpan dalam a’yan al-tsabithah, dalam Perbendaharaan Tersembunyi,” yakni saat kita menerima gelombang wahyu. Manusia diciptakan untuk melahirkan realisasi spirtual dan ini tergantung kepada kualitas penerimaan yang ada dalam diri kita. “Adam” diciptakan lengkap dengan semua kualitas. Adam adalah ayah sekaligus ibu; Adam “melahirkan” hawa, dan menjadi ayah yang membuahi “hawa” untuk melahirkan anak-anak.
Karenanya, perkawinan adalah perjanjian ikatan suci, karena ia diikat dengan kalimat syahadat. Ini berarti bahwa dalam ikatan perkawinan, manusia diharapkan menyatukan seluruh kualitas diri yang terpecah, agar siap menerima gelombang Wahyu yang abadi, dan, dalam analisis terakhir, kembali kepada persatuannya dengan Yang Ilahi. Ketika Adam terjatuh dari surga, tercerabut dari Keindahan Ilahi, Adam kehilangan ketentramannya. Adam mencari hakikat dirinya. Allah Yang Maha Pengasih lantas menyingkapkan Jamal-Nya (Keindahan-Nya) secara spesifik ke dalam lokus manifestasi yang tiada lain adalah Hawa, sang perempuan. Karenanya, Adam menemukan apa-apa yang dicarinya dalam diri Hawa.
Tetapi Adam dan Hawa tak cukup hanya saling memandang untuk kembali ke hakikat dirinya. Mereka harus bersatu; dan pernikahan adalah lambang dari persatuan ini. Kesatuan dan Pertemuan (wushul) dimaksudkan agar keseluruhan mencapai bagian dan vice versa. Pernikahan ini adalah ibadah yang tinggi. setiap tindakan ibadah memiliki kelezatan atau kenikmatan, dan setiap kenikmatan itu adalah tanda-tanda dari kenikmatan surgawi. Jadi jelas, kenikmatan “pertemuan” lebih besar ketimbang kenikmatan “melihat.”
Dalam bahasa awam, kenikmatan bersetubuh lebih besar ketimbang kenikmatan melihat persetubuhan. Jadinya, hubungan seksual yang suci dalam ikatan pernikahan yang sah adalah perlambang fana. Kini jelas, pernikahan adalah menyatukan kembali kualitas rahim yang melekat dalam diri setiap manusia, baik pria dan wanita.
Tetapi Adam dan Hawa tak cukup hanya saling memandang untuk kembali ke hakikat dirinya. Mereka harus bersatu; dan pernikahan adalah lambang dari persatuan ini. Kesatuan dan Pertemuan (wushul) dimaksudkan agar keseluruhan mencapai bagian dan vice versa. Pernikahan ini adalah ibadah yang tinggi. setiap tindakan ibadah memiliki kelezatan atau kenikmatan, dan setiap kenikmatan itu adalah tanda-tanda dari kenikmatan surgawi. Jadi jelas, kenikmatan “pertemuan” lebih besar ketimbang kenikmatan “melihat.”
Dalam bahasa awam, kenikmatan bersetubuh lebih besar ketimbang kenikmatan melihat persetubuhan. Jadinya, hubungan seksual yang suci dalam ikatan pernikahan yang sah adalah perlambang fana. Kini jelas, pernikahan adalah menyatukan kembali kualitas rahim yang melekat dalam diri setiap manusia, baik pria dan wanita.