Mengacu pada ayat suci Al-Quran bahwa Allah Ta’ala menganugerahkan ketinggian pada rumah orang-orang yang memperoleh bagian dari cahaya Rasulullahsaw dan mereka pun mengagungkan nama Allah Ta’ala dengan memperoleh bagian dari nur itu sesuai dengan ajaran Allah Ta’ala. Mereka menaruh perhatian pada ibadah-ibadah dan amal-amal salehnya. Hari ini saya akan sampaikan sedikit berkenaan dengan nasihat-nasihat Hadhrat Masih Mau’ud as yang telah diberikan kepada Jemaat beliau itu.
Allah Ta’ala telah menetapkan tujuan hidup manusia, yakni ibadah. Akan tetapi bagaimana cara beribadah itu? Bagaimana ibadah itu dilakukan? Imam pada zaman ini yang merupakan wujud yang paling banyak memperoleh bagian dari nur Rasulullah saw dan yang paling memahami perintah-perintah Allah Ta’ala dan yang memiliki kecerdasan penangkapan yang lebih tajam dalam memahami hukum-hukum Allah Ta’ala, dalam kaitan itu memberikan bimbingan kepada kita sesuai dengan bimbingan ajaran Al-Quran yang pemahamannya dianugerahkan kepada beliau. Hari ini saya juga akan terangkan sesuai dengan pemahaman itu.
Beberapa hari yang lalu ada seorang teman saya (ghair Ahmadi) datang untuk berjumpa. Beliau dari kalangan para cendekiawan besar dan di kalangan media massa beliau juga memiliki posisi yang dikenal. Beliau mulai membuka pembicaraan bahwa apa sebabnya di Pakistan khususnya mesjid-mesjid sedemikian ramainya dewasa ini yang mana pemandangan seperti itu tidak terlihat pada 62 tahun yang lalu. Kita melihat banyak orang yang pergi haji, sedemikian banyak jumlahnya sehingga sebelumnya tidak pernah terlihat. Kemudian banyak lagi kebaikan yang dia hitung. Kemudian beliau mengatakan lebih lanjut bahwa apa sebabnya dampak-dampak positif dan hasil-hasil yang baik tidak tampak sebagaimana semestinya.
Kemudian dia sendiri yang mengatakan bahwa pada dasarnya urusan-urusan di luar mesjid tidak bersih dan hal ini terjadi karena hati tidak bersih. Begitu keluar dari mesjid, mulai timbul rasa adanya debu yang menutupi hati dalam urusan-urusan sehari-hari. Saya katakan kepadanya bahwa ada satu hal yang hendaknya kita harus ingat bahwa ibadah-ibadah kita, shalat-shalat kita dan kebaikan-kebaikan kita yang lainnya itu baru akan bermanfaat manakala di dalamnya kita sendiri juga melakukan introspeksi terhadap diri kita sendiri. Hanya sekedar gembira bahwa kita beribadah atau kita menzahirkan nuansa corak Islami pada diri kita atau dengan tampilan kita, dengan wajah dan dengan kondisi kita zahir warna Islami, maka ini jelas bukan merupakan sebuah kebaikan.
Saya teringat pada sebuah kalimat dari sabda Hadhrat Mushlih Mau’ud ra yang saya beritahukan padanya bahwa: ”Sesungguhnya merupakan pekerjaan orang-orang untuk melihat amal-amal kalian. Tetapi merupakan pekerjaan kalian senantiasa memeriksa hati kalian”.
Jadi kalau orang-orang mengatakan bahwa dia adalah orang yang sangat rajin shalat, sangat rajin berpuasa, seorang haji yang benar-benar haji, maka dengan perkara-perkara itu saja tidak menimbulkan kebaikan-kebaikan. Ruh kebaikan yang sejati baru akan terlahir manakala timbul perasaan bahwa apakah semua pekerjaan ini saya lakukan demi untuk Tuhan? Dan untuk itu diperlukan upaya introspeksi terhadap hati sendiri. Dan tatkala introspeksi ini ada, maka dampak-dampak hakiki kebaikan-kebaikan itu akan menjadi zahir.
Hal kedua yang saya katakan padanya bahwa kalian tidak akan percaya. Akan tetapi pada kenyataannya bahwa tanpa mengimani Imam Zaman pada zaman ini, kebaikan-kebaikan yang kalian hitung itu tidak akan bisa menetapkan arahnya yang benar. Tidak akan menuju pada arah yang benar. Pengaruh syaithan juga menjadikan kebaikan-kebaikan berakhir dengan hasil-hasil yang tidak baik. Saya juga telah memberitahukan kepadanya bahwa jika urusan itu tidak bersih, hati tidak bersih atau akibat fitnah dan kekacauan, tanpa mengimani Hadhrat Masih Mau’ud as dan tanpa mengimani Khilafat sesudah beliau, kiblat (arah) tidak akan bisa benar. Pada hakikatnya adalah bahwa cara-cara ibadah pun, Hadhrat Masih Mau’ud as lah yang telah mengajarkan kepada kita. Quran itu dan syariat pun sama juga, tetapi Allah Ta’ala telah berikan pemahaman hakiki kepada pencinta sejati Rasulullahsaw. Rasa takut yang hakiki kepada Tuhan dan rasa cinta hakiki kepada Rasulullah saw, Hadhrat Masih Mau’ud as lah yang telah menciptakan itu di dalam diri kita dan beliau telah menerangi hal itu. Jadi, sejauh kita bisa menghargainya dan sebagai dampaknya kita terus mengintrospeksi diri kita maka ibadah-ibadah kita akan terus memberikan faedah kepada kita. Jadi ini merupakan tanggungjawab setiap Ahmadi bahwa mereka harus terus-menerus membaca berulang kali ilmu kalam Hadhrat Masih Mau’udas. Barang siapa yang dapat membaca, mereka hendaknya harus baca dan barang siapa yang bisa mendengar maka mereka hendaknya mendengar dan seyogianya berusahalah menjalani kehidupannya sesuai dengan itu.
Di puluhan tempat Hadhrat Masih Mau’ud as telah memberikan bimbingan kepada kita bahwa apa hakikat ibadah itu? Dan dalam Al-Quran di awal sekali, dalam surah Al-Fatihah, Dia telah mengajarkan doa:
-- Iyyâ-Ka na’budu wa iyyâ-Ka nasta’în --
Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan. (Al-Fatihah:5)
Apa maksud hakiki dari itu? Kita setiap hari membaca itu dalam shalat dan selesai dengan membaca itu. Tetapi jika kita melihat dengan pandangan Hadhrat Masih Mau’ud as, maka hakikat dari itu akan menjadi jelas.
Beliau di satu tempat bersabda bahwa: Di dalam firman Allah Ta’ala -- Iyyâ-Ka na’budu -- Ada sebuah isyarat lain dan itu adalah bahwa Allah Ta’ala dalam ayat itu mendorong hamba-hamba-Nya supaya di dalam ketaatan kepada-Nya, hendaknya harus mengerahkan tekad dan upaya hingga semaksimal mungkin dan seperti para hamba pilihan Allah Ta’ala yang setiap saat dengan mengucapkan ‘labbaik-labbaik’ hendaknya senantiasa berdiri di hadapan-Nya. Seolah-olah hamba-hamba ini tengah mengatakan bahwa, “Wahai Tuhan kami! Kami dalam melakukan mujahadah, menjalankan hukum-hukum Engkau, dalam mencari keridhaan Engkau kami tidak melakukan kekurangan. Tetapi hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan dan kami berlindung kepada Engkau dari sifat riya serta takabbur”. (Jangan ada amal kami yang hanya ingin mempertontonkan kepada orang). “Dan hanya kepada Engkaulah, kami memohon taufik yang sedemikian rupa yang membawa kepada petunjuk dan keridhaan Engkau; dan kami tetap teguh dalam beribadah dan taat kepada Engkau. Oleh karena itu tulislah kami masuk kedalam golongan hamba-hamba Engkau yang setia.”
Bersabda “Di sini ada lagi satu isyarat lain dan itu adalah bahwa hamba mengatakan, ‘wahai Tuhan kami! Kami telah mengkhususkan Engkau sebagai Wujud yang hanya Engkaulah yang layak disembah. Dan siapa pun yang selain Engkau, kami telah mengutamakan Engkau di atas semuanya. Jadi bagi kami, selain Dzat Engkau, kami tidak menyembah siapapun selain Engkau dan kami dari antara orang-orang yang mengimani ke-Esa-an Engkau’.”
Beliau a.s. bersabda: “…doa ini adalah untuk semua orang, tidak hanya untuk pribadi orang yang memanjatkan doa dan di dalamnya Allah Ta’ala menekankan atau mendorong orang-orang Islam untuk berdamai di antara sesama, selalu bersatu dan memegang tali persaudaraan. Dan orang yang berdoa sendiri hendaknya siap memasukkan diri dalam kesulitan demi karena merasa simpati pada saudaranya, sebagaimana dia bersusah payah untuk dirinya sendiri dan juga untuk memenuhi keperluan saudara-saudaranya, sedemikian rupa dia memberikan perhatian dan sedemikian rupa dia merasa gelisah dan resah, sebagaimana dia gelisah dan resah untuk dirinya dan dia tidak membedakan antara dirinya dan saudara-saudaranya. Dan dengan sepenuh hati dia menjadi orang yang simpati dengannya. Seolah-olah Allah Ta’ala menegaskan dan berfirman bahwa ‘wahai hamba-hamba-Ku, saling mendoakanlah di antara kalian sebagaimana kalian memberikan hadiah di antara saudara dan orang-orang yang mencintai kalian. [Dan untuk mengikut sertakan mereka] perluaslah ruang lingkup doa kalian dan perluaslah ruang lingkup niat-niat kalian. Di dalam niat-niat baik kalian [untuk saudara kalian pun], perluaslah jangkauan niat-niat itu dan dalam ihwal saling mencintai, jadilah kalian layaknya seperti saudara mencintai saudara dan bapak mencintai anak’.”[1]
Ini merupakan sedikit bagian dari terjemahan buku bahasa Arab karya Hadhrat Masih Mau’udas yang bernama Karamatrus-shâdiqîn. Jadi ini merupakan cara untuk menciptakan pengaruh-pengaruh dan dampak baik dari ibadah-ibadah. Diperlukan keluasan dalam niat-niat kita. Jika hanya memperhatikan keuntungan-keuntungan diri sendiri, maka ibadah-ibadah tidak akan dapat mencapai standar atau mutu itu. Hasil yang baik tidak akan dapat dicapai. Jika sesudah melakukan ibadah-ibadah tidak terlahir jalinan kecintaan di antara satu dengan yang lain, maka ibadah seperti itu perlu menjadi bahan renungan. Jika pergi ke mesjid-mesjid orang-orang Islam, maka dari kebanyakan tempat-tempat itu akan terdengar kata-kata keji dan kotor terhadap Masih Mau’udas dan Jemaat beliau. Manakala di mesjid-mesjid seperti itu kata-kata kotor dan ucapan tidak mengenal rasa malu yang keluar, maka apa pengaruh ibadah-ibadah itu pada para makmun yang melakukan shalat di belakang orang-orang yang mengucapkan kata-kata yang sia-sia seperti itu. Dan kemudian setelah keluar dari tempat seperti itu, apa yang orang-orang ini akan lakukan. Dan sejauh berkaitan dengan orang-orang Ahmadi, apa yang Hadhrat Masih Mau’ud as telah ajarkan kepada kita? Setelah mendengarkan perkataan seperti itu beliau bersabda: “Sabar merupakan sebuah mutiara yang besar. Jemaat hendaknya bersabar”.
Terkadang dengan mendengarkan hal seperti itu dalam satu pertemuan atau setelah mendengar caci makian, terkadang orang-orang memperlihatkan ketidaksabaran. Beberapa hari yang lalu, peristiwa-peristiwa seperti itu terjadi juga di Hindustan. Di sana pun orang-orang menulis surat yang mempelihatkan ciri ketidaksabaran. Atau ada satu dua orang Ahmadi yang memperlihatkan ketidaksabaran. Maka beliau as. bersabda: “Warga Jemaat hendaknya bersabar dan jangan menjawab kekerasan dengan kekerasan dan sebagai jawaban atas caci makian, dan jangan pula menjawab dengan caci makian. Allah Ta’ala menolong orang-orang yang bersabar. Saya tidak menyukai anggota Jemaat menyerang siapa pun atau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan akhlak atau sopan santun”. Selain itu beliau a.s. Bersabda: “Pemahaman yang didapat dari wahyu-wahyu Ilahi pun adalah seseorang harus berlaku lemah lembut.”[2]
Kemudian beliau a.s. bersabda: “agama kita mengajarkan untuk berlaku baik kepada orang-orang yang melakukan keburukan”. Dan beliau a.s. juga bersabda: “Kita memperlakukan mereka dengan baik dan kita bersabar atas kekasaran mereka. Kalian serahkan pada Tuhan perlakuan buruk mereka”[3]
Manakala kalian menyerahkan itu kepada Tuhan, maka akan timbul perhatian kepada Tuhan. Kalian akan melakukan ibadah kepada Tuhan, maka Insya Allah Ta’ala, Dia akan datang untuk memberikan pertolongan.
Kemudian beliau juga memerintahkan kepada kita supaya berdoa untuk musuh dan membersihkan hati. Inilah perkara-perkara yang menegakkan standar atau mutu ibadah-ibadah, lalu menciptakan dampak-dampak dan hasil–hasilnya yang baik. Dan itu memberikan bimbingan terhadap ketentuan atau langkah-langkah masyarakat yang sesuai benar dengan ajaran Islam. Jadi inilah perkara yang setiap orang Ahmadi hendaknya berusaha menciptakannya di dalam dirinya. Kalau tidak, hanya menerima Hadhrat Masih Mau’ud as dan mengimani beliau sebagai Masih Mau’ud as, maka itu tidak akan membawa manfaat. Peraihan ketinggian-ketinggian itu akan dapat dicapai dengan berusaha mengamalkan ajaran yang Hadhrat Masih Mau’ud as telah berikan kepada kita. Di dalamnya tidak ada keraguan dan setiap orang yang menyebut dirinya Islam, dia yakin akan hal itu dan menganggap shalat itu sebagai rukun yang mendasar. Allah Ta’ala pun berkali-kali menekankan hal itu dan Hadhrat Rasulullah saw juga. Bahkan suatu kali ada satu kaum yang masuk Islam dan akibat kesibukan-kesibukan bisnisnya, dengan menyatakan alasan pekerjaan. Dia memohon kiranya mereka boleh meninggalkan shalat. Maka beliau saw. bersabda “ingatlah di dalam agama yang tidak ada ibadah kepada Tuhan, maka itu bukanlah agama.”
Inilah pentingnya shalat. Seorang yang mengaku dirinya Islam pun mengetahui, baik dia melakukan shalat atau tidak melakukan shalat. Tetapi orang-orang Islam dan setiap orang yang menyebut dirinya sebagai orang Islam, dia hendaknya setiap saat harus ingat bagaimana melakukan shalat. Sebagaimana saya memberikan rujukan dari seorang teman ghair Ahmadi bahwa mereka pun melakukan shalat-shalat, tetapi kendati demikian, kita tidak mengetahui kenapa urusan jual beli mereka tidak bersih? Terdapat satu kalangan besar diantara mereka sedemikian rupa, yang kendati mereka menganggap ibadah itu sebagai kewajiban agama yang sangat besar, tetapi banyak dari antara mereka yang melakukan itu hanya untuk pamer. Oleh karena itu merupakan nasib buruk bahwa pengaruh ibadah itu tidak ada lagi ada pada diri mereka. Hal ini disebabkan ibadah mereka tidak dilakukan dalam bentuk yang benar. Sebagian ada yang berusaha ingin melakukan shalat dengan penuh perhatian, tetapi ruh dari shalat-shalat dan kedalamannya tidak mereka pahami. Karena mata air ruhani yang Allah Ta’ala alirkan pada zaman ini untuk menganugerahkan pemahaman dan pengertian, para ulama yang hanya sekedar nama itu dengan menakut-nakuti secara luar biasa, ulama-ulama itu menjauhkan mereka dari berkat-berkatnya. Dan hari ini kita sebagai orang Ahmadi bernasib baik, karena kita tengah mengambil faedah dari sumber mata air ruhani yang sumbernya adalah majikan beliau, Hadhrat Muhammad saw, dan kini untuk perubahan keruhanian seluruh dunia dan untuk penegakan syariat yang terakhir, Allah Ta’ala telah memilih beliau saw semata.