Idul Adha atau yang lebih dikenal dengan istilah Hari Raya Qurban merupakan salah satu hari raya yang begitu akbar dirayakan oleh seluruh umat Islam baik di bumi Nusantara maupun di belahan dunia lainnya. Dikumandangkannya Takbir, Tahlil dan Tahmid sejak 10 Dzulhijjah sampai 13 Dzulhijjah yang merupakan hari Tasyriq, menandakan, Idul Adha memiliki nuansa dan getaran Tauhidiyah yang sendiri.
Idul Adha atau yang lebih dikenal dengan istilah Hari Raya Qurban merupakan salah satu hari raya yang begitu akbar dirayakan oleh seluruh umat Islam baik di bumi Nusantara maupun di belahan dunia lainnya. Dikumandangkannya Takbir, Tahlil dan Tahmid sejak 10 Dzulhijjah sampai 13 Dzulhijjah yang merupakan hari Tasyriq, menandakan, Idul Adha memiliki nuansa dan getaran Tauhidiyah yang sendiri.
Perayaan Idul Adha yang ditandai dengan penyembelihan hewan qurban pada hakikatnya membawa pikiran, hati dan keimanan kita larut kepada satu peristiwa besar yang terjadi puluhan abad yang silam. Kisah yang begitu mengharukan dari seorang hamba Allah yang taat yaitu Nabi Ibrahim AS dan putranya Ismail yang begitu sabar dan patuh pada perintah Sang Khalik, Allah SWT, yang untaian kisahnya begitu indah dilukiskan dalam Al Quran surah Ash-Shafat ayat 102-105 yang artinya ‘Maka ketika anak itu sampai pada umur dewasa yakni sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, ‘Wahai anakku yang kusayang, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah, bagaimana pendapatmu. ‘Dia (Isma’il) menjawab,’Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu; Insya Allah engkau akan mendapatkanku termasuk orang yang bersabar. ‘Maka setelah keduanya bertekad bulat dalam berserah diri (kepada Allah) dan dibaringkan pipi (Isma’il) di atas tanah. Kemudian kami berseru kepadanya, ‘Hai Ibrahim, engkau telah benar-benar melaksakan perintahKu dalam mimpi itu. Demikianlah sesungguhnya Kami membalas orang-orang yang berlaku baik. ‘
Pengorbanan Nabi Ibrahim AS dan putranya Isma’il AS digambarkan Allah SWT sebagai ujian keimanan yang nyata sebagai mana Firman-Nya dalam surah Ash-Shafat ayat 106 yang artinya, ‘Sesungguhnya ini merupakan uji coba yang nyata.’Dan dalam lanjutan kisah penyembelihan ini Allah SWT Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang menggantikan Nabi Ismail dengan sembelihan dari syurga yakni seekor kibas yang besar yang dahulu dikorbankan oleh Habil, putra Nabi Adam AS sebagaimana Firman Allah dalam surah Ash-Shafat 107 yang artinya,’Kami tebus anaknya itu dengan sembelihan besar (seekor domba/kibas).’
Ketaatan Nabi Ibrahim AS dalam menjunjung tinggi perintah Allah dan keikhlasan serta kesabaran Nabi Ismail mengundang kekaguman para malaikat yang menyerukan kalimat Takbir, ‘Allahu Akbar Allahu Akbar’, yang disambut Nabi Ibrahim dengan kalimat Tahlil, Laailaha Illallahu Allahu Akbar, yang diikuti pula oleh Nabi Ismail dengan ucapan Tahmid, ‘Allahu Akbar WalillahIlhamd ‘yang hingga saat ini, rangkaian kalimat yang mulia ini menghiasi ratusan juta bibir umat Islam saat merayakan Idul Adha. Rangkaian kisah keluarga taat yang Allah Abadikan dalam Al Quran nul karim tentunya mengandung banyak hikmah dan pelayaran yang sangat berharga bagi seluruh ummat manusia. Ibnu Katsir, salah seorang ulama Tafsir terkemuka menyatakan apabila Allah SWT mengabadikan satu kisah dalam Al Quran, maka sesungguhnya kisah ini amat bernilai tinggi dan berisikan pelajaran yang sangat berharga bagi manusia.
Adapun beberapa hikmah yang dapat kita petik dari peristiwa Idul Qurban antara lain adalah:
oleh Tausiyah Abi Ridwan AlMahbuby pada 15 November 2010 jam 0:44
الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر اَلْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوْبُ اِلَيْهِ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ اَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ اَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى ءَالِهِ وَاَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اَمَّا بَعْدُ: فَيَاعِبَادَ اللهِ : اُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَ اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِى الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ: يَااَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ اِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
Allahu Akbar 3X Walillahilhamdu. Jamaah Shalat Idul Adha Yang Dimuliakan Allah.
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah swt yang telah memberikan kenikmatan kepada kita dalam jumlah yang begitu banyak sehingga kita bisa hadir pada pagi ini dalam pelaksanaan shalat Idul Adha. Kehadiran kita pagi ini bersamaan dengan kehadiran sekitar tiga sampai empat juta jamaah haji dari seluruh dunia yang sedang menyelesaikan pelaksanaan ibadah haji di Tanah Suci. Semua ini karena nikmat terbesar yang diberikan Allah swt kepada kita, yakni nikmat iman dan Islam.
Shalawat dan salah semoga selalu tercurah kepada Nabi kita Muhammad saw, beserta keluarga, sahabat dan para pengikuti setia serta para penerus dakwahnya hingga hari kiamat nanti.
Allahu Akbar 3X Walillahilhamdu. Kaum Muslimin Yang Berbahagia.
Idul Adha yang kita rayakan dari tahun ke tahun selalu memberi makna dan pelajaran yang amat berharga bagi kita, baik secara pribadi dan keluarga maupun sebagai umat dan bangsa. Lebih dari 200.000 jamaah haji kita dari Indonesia bersama dengan sekitar 3 juta jamaah haji dari seluruh dunia selalu kita doakan agar dapat melaksanakan ibadah haji dengan sebaik-baiknya dan menjadi haji yang mabrur, karena haji yang mabrur pasti memberi pengaruh positif dalam kehidupan ini.
Idul Adha tahun ini kita masuki dalam suasana duka bangsa Indonesia yang dilanda oleh berbagai musibah yang datang silih berganti, mulai dari banjir, tanah longsor, gempa bumi sampai gunung meletus, belum lagi dengan berbagai persoalan kehidupan yang begitu banyak, baik di desa-desa terpencil maupun di perkotaan, satu persoalan belum terpecahkan sudah muncul lagi persoalan berikutnya. Oleh karena itu, mengambil hikmah dari ibadah haji dan qurban serta meneladani kehidupan Nabi Ibrahim as dan keluarganya menjadi sesuatu yang amat penting. Paling tidak, ada lima kekuatan yang harus kita bangun pada umat kita ini untuk bisa mengatasi persoalan dan membangun kehidupan yang lebih baik pada masa-masa mendatang.
Pertama, kekuatan aqidah, iman atau tauhid kepada Allah swt. Nabi Ibrahim as telah mencontohkan kepada kita bagaimana aqidah begitu melekat pada jiwanya sehingga ia berlepas diri dari siapapun dari kemusyrikan, termasuk orang tuanya yang tidak mau bertauhid kepada Allah swt sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
Sesungguhnya Telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan Dia; ketika mereka Berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan Telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja (QS Al Mumtahanah [60]:4).
Salah satu dampak positif dari aqidah yang kuat akan membuat seorang mukmin memiliki prinsip yang tegas dalam setiap keadaan, dia tidak lupa diri pada saat senang, baik senang karena harta, jabatan, popularitas, pengikut yang banyak maupun kekuatan jasmani dan iapun tidak putus asa pada saat mengalami penderitaan, baik karena sakit, bencana alam, kekurangan harta maupun berbagai ancaman yang tidak menyenangkan, inilah yang membuatnya menjadi manusia yang mengagumkan, Rasulullah saw bersabda:
عَجَبًا ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ اِنَّ اَمْرَهُ كُلَّهُ لَخَيْرٌ وَلَيْسَ ذَالِكَ ِلأَحَدٍ اِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ ِانْ اَصَبَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَاِنْ اَصَبَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ Menakjubkan urusan orang beriman, sesungguhnya semua urusannya baik baginya dan tidak ada yang demikian itu bagi seseorang selain bagi seorang mu’min. Kalau ia memperoleh kesenangan ia bersyukur dan itu baik baginya. Kalau ia tertimpa kesusahan, ia sabar dan itu baik baginya (HR. Ahmad dan Muslim).
Kekuatan umat Kedua yang harus kita bangun adalah akhlak yang mulia. Kondisi akhlak masyarakat kita sekarang kita akui masih amat memprihatinkan, bila ini terus berlangsung, cepat atau lambat yang lemah dan hancur bukan hanya diri dan keluarga, tapi juga umat dan bangsa. Seorang ulama Mesir yang wafat tahun 1932 M yang bernama Syauqi Bey, menyatakan :
إِنَّماَ الأُمَمُ الأَخْلاَقُ ماَ بَقِيَتْ وَإِنْ هُمُوْ ذَهَبَتْ أَخْلاَقُهُمْ ذَهَبُوْا Suatu bangsa akan kekal selama berakhlak, bila akhlak telah lenyap, lenyaplah bangsa itu. Karena itu melanjutkan misi Nabi Muhammad saw memperbaiki akhlak menjadi sesuatu yang amat penting. Profil Nabi Ibrahim dan keluarganya serta dari ibadah haji yang harus ditunaikan oleh kaum muslimin sekali seumur hidupnya adalah menjauhi segala bentuk keburukan dan melakukan segala bentuk kebaikan. Kesimpulan ini kita ambil dari larangan melakukan keburukan bagi jamaah haji, Allah swt berfirman:
(Musim haji) adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh mengerjakan rafats (perkatan maupun perbuatan yang bersifat seksual), berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Dan berbekallah kamu, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa, dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal (QS Al Baqarah [2]:197)
Hampir setiap tahun setiap MENJELANG Baik Idul Fitri maupun Idul Adha pasti terdapat perbedaan,
sampai sampai di kalangan masyarakat awam beredar pertanyaan mengapa akan terjadi perbedaan antara Muhammadiyah, NU, pemerintah, dan Arab Saudi dalam penentuan 1 Dzulhijjah 1431 H yang berdampak perbedaan penetapan tanggal 10 Dulhijjah sebagai hari raya Idul Adha.
Jadi menurut Abi,
Pertanyaan ini wajar ramai dibicarakan karena jauh-jauh hari Kementerian Agama RI dalam hal Dirjen Bimas Islam Prof Dr H Nazaruddin Umar MA menyatakan bahwa Idul Adha tahun ini berpotensi terjadi perbedaan antara Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, pemerintah, dan Arab Saudi (Media on line, Jumat, 22 Oktober 2010).
Perbedaan antara Muhammadiyah dengan NU dan pemerintah bahkan kiranya sudah terbaca dengan jelas dalam sidang tim pakar hisab rukyah Indonesia yang tergabung dalam Badan Hisab Rukyah RI yang pada tanggal 2 November 2010 melakukan rapat bersama. Dan secara resmi pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama RI melakukan penetapan resmi setelah sidang isbat 1 Idul Adha 1431 H yang dilaksanakan pada tanggal 6 November 2010. Perbedaan penetapan bulan Qamariyah yang berkaitan dengan ibadah yakni penetapan awal-akhir Ramadan dan awal Dzulhijjah di Indonesia memang biasa terjadi
Bahkan Snouck Hourgronje pernah menyatakan kepada Gubernur Jenderal Belanda, ”Tak usah heran jika di negeri ini hampir setiap tahun timbul perbedaan penetapan awal dan akhir puasa (dan penetapan Idul Adha). Bahkan terkadang perbedaan itu terjadi antara kampung- kampung berdekatan” (Tempo, 26 Maret 1994). Pertanyaan Snouck Hourgronje tersebut tidaklah berlebihan, karena memang banyak sekali aliran pemikiran yang berkaitan dengan penetapan tersebut.
Aliran pemikiran itu muncul karena perbedaan pemahaman dasar hukum hisab-rukyat yang masih mujmal yakni hadis ”Shumu lirukyatihi wa afthiru lirukyatihi.” Bahkan, persinggungan Islam sebagai great tradition dan budaya lokal sebagai little tradition menumbuhkan aliran tersendiri, dalam hal ini sebagaimana munculnya aliran hisab Jawa Asapon dan hisab Jawa Aboge.
Secara keseluruhan aliran pemikiran yang berkaitan dengan penetapan awal bulan Qamariyah termasuk Idul Adha adalah sebagai berikut. Pertama, aliran hisab wujudul hilal. Aliran ini berprinsip jika menurut perhitungan (hisab), hilal dinyatakan sudah di atas ufuk, hari esoknya dapat ditetapkan sebagai tanggal baru tanpa harus menunggu hasil melihat hilal pada tanggal 29. Prinsip tersebut selama ini dipegang oleh Muhammadiyah.
Kedua, aliran rukyat dalam satu negara (rukyah fi wilayatil hukmi). Prinsip aliran ini berpegang pada hasil rukyat (melihat bulan tanggal satu) pada setiap tanggal 29. Jika berhasil melihat hilal, hari esoknya sudah masuk tanggal baru. Namun, jika tidak berhasil melihat hilal, bulan harus disempurnakan 30 hari (diistikmalkan) dan hanya berlaku dalam satu wilayah hukum negara.
Keberadaan hisab dipergunakan sebagai alat bantu dalam melakukan rukyat. Prinsip ini yang dipegangi Nahdlatul Ulama selama ini. Ketiga, aliran hisab ”imkanurrukyah” (hisab yang menyatakan hilal sudah mungkin dapat dilihat). Inilah aliran yang dipegangi pemerintah dengan standar imkanurrukyah 2 derajat dari ufuk. Keempat, aliran rukyat internasional atau rukyat global yang berprinsip jika di negara mana pun menyatakan melihat hilal, maka hal itu berlaku untuk seluruh dunia tanpa memperhitungkan jarak geografis.
Sifat istri shalihah bisa kita rinci berikut ini berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan setelahnya:
1. Penuh kasih sayang, selalu kembali kepada suaminya dan mencari maafnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Maukah aku beritahukan kepada kalian, istri-istri kalian yang menjadi penghuni surga yaitu istri yang penuh kasih sayang, banyak anak, selalu kembali kepada suaminya. Di mana jika suaminya marah, dia mendatangi suaminya dan meletakkan tangannya pada tangan suaminya seraya berkata: “Aku tak dapat tidur sebelum engkau ridha.” (HR. An-Nasai dalam Isyratun Nisa no. 257. Silsilah Al-Ahadits Ash Shahihah, Asy- Syaikh Al Albani rahimahullah, no. 287)2. Melayani suaminya (berkhidmat kepada suami) seperti menyiapkan makan minumnya, tempat tidur, pakaian, dan yang semacamnya.3. Tidak memberikan Kemaluan nya kecuali kepada suaminya.
Al Quran :“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. (an-Nuur: 2-3).“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk,” (al-Israa’: 32)“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina,” (al-Furqaan: 68-69).“Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (al-Mumtahanah: 12).HADIS :Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Tiga jenis orang yang Allah tidak mengajak berbicara pada hari kiamat, tidak mensucikan mereka, tidak melihat kepada mereka, dan bagi mereka adzab yang pedih: Orang yang berzina, penguasa yang pendusta, dan orang miskin yang sombong,” (HR Muslim [107]).
Di tengah masyarakat sekarang ini, masih sering kita saksikan perbuatan salah yang dianggap lumrah. Atau perbuatan berbahaya yang dianggap biasa. Hal ini wajar, karena masih sangat sedikit dari mayoritas kaum muslimin orang yang benar-benar memahami tuntunan syari'at. Sedikit juga orang yang berkemauan keras untuk belajar dan mendalami agamanya.
Diantara kebiasaan yang kerap kita saksikan, yaitu seseorang memasuki rumah orang lain tanpa meminta izin si empunya rumah. Atau kita dapati seseorang mengintip ke dalam rumah orang lain karena si empunya tak menjawab salamnya.
Masih banyak kaum muslimin yang menganggap ini sebagai perbuatan sepele yang sah-sah saja. Apalagi bila si empunya rumah termasuk kerabat atau sahabat yang dekat dengannya. Mereka sama sekali tidak menyadari, bahwa perbuatan seperti itu merupakan perbuatan dosa yang dapat membawa mudharat yang sangat berbahaya.
Rumah, pada hakikatnya adalah hijab bagi seseorang. Di dalamnya seseorang biasa membuka aurat. Di sana juga terdapat perkara-perkara yang ia merasa malu bila orang lain melihatnya. Tidak dapat kita bayangkan, bagaimana bila akhirnya pandangan mata terjatuh pada perkara-perkara yang haram. Ditambah lagi tabiat manusia yang mudah curiga-mencurigai, berprasangka buruk satu sama lain. Akankah akibat-akibat buruk itu dapat terelakkan bila masing-masing pribadi jahil dan tak mengindahkan tuntunan agama?
Syari'at Islam adalah syari'at yang universal. Tidak ada satupun perkara yang membawa kemashlahatan bagi kehidupan manusia, kecuali Islam memerintahkannya. Dan tidak ada satu pun perkara yang dapat membawa mudharat bagi kehidupan manusia, kecuali Islam melarangnya. Tidak terkecuali dalam masalah adab meminta izin atau disebut isti'dzan. Islam telah memberikan tuntunan adab yang sangat agung dalam masalah ini. Berikut ini kami berusaha sedikit mengulasnya.
MEMINTA IZIN BERBEDA DENGAN UCAPAN SALAMSebagian orang beranggapan, bila salam telah dijawab, berarti ia boleh masuk ke dalam rumah tanpa harus meminta izin. Ini adalah anggapan yang jelas keliru. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Hai, orang orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu selalu ingat".[An Nur:27].
Ayat di atas dengan jelas membedakan antara salam dan meminta izin. Dengan demikian, seseorang yang telah dijawab salamnya, harus meminta izin sebelum masuk ke dalam rumah. Inilah adab yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Kaladah bin Al Hambal, bahwasanya Shafwan bin Umayyah mengutusnya pada hari penaklukan kota Makkah dengan membawa liba' [1], jadayah [2] dan dhaghabis [3]. Ketika itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di atas lembah. Aku menemui Beliau tanpa mengucapkan salam dan tanpa minta izin. Maka Beliau bersabda:
"اِرْجِعْ فَقُلْ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أأدخل"
"Keluarlah, ucapkanlah salam dan katakan: “Bolehkah aku masuk?” [Hadits riwayat Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi dan An Nasa’i]
HENDAKLAH BERDIRI DI SISI KIRI ATAU KANAN PINTUBagi orang yang meminta izin, hendaklah berdiri di sisi kanan atau kiri pintu. Dan janganlah ia berdiri tepat di depan pintu. Hal ini dimaksudkan agar pandangan mata tidak jatuh pada perkara-perkara yang tidak layak dipandang saat pintu terkuak. Terlebih lagi, jika pintu memang dalam keadaan terbuka. Sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Diriwayatkan dari Abdullah bin Bisyr, ia berkata:
"Apabila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendatangi rumah orang, Beliau tidak berdiri di depan pintu, akan tetapi di samping kanan atau samping kiri, kemudian Beliau mengucapkan salam "assalamu 'alaikum, assalamu 'alaikum", karena saat itu rumah-rumah belum dilengkapi dengan tirai". [Hadist riwayat Abu Dawud].
Abu Dawud juga meriwayatkan dari Huzail, ia berkata: "Seorang lelaki –Utsman bin Abi Syaibah menyebutkan, lelaki ini adalah Sa'ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu 'anhu - datang lalu berdiri di depan pintu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meminta izin. Dia berdiri tepat di depan pintu. Utsman bin Abi Syaibah mengatakan: Berdiri menghadap pintu. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya:
"Jika kamu tidak menemui seorangpun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu "Kembali (saja)lah,” maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan". [An Nur:28].
Apabila seseorang telah mengucapkan salam dan meminta izin sebanyak tiga kali, namun tidak juga dipersilakan, hendaklah ia kembali. Boleh jadi tuan rumah sedang enggan menerima tamu, atau ia sedang bepergian. Karena seorang tuan rumah mempunyai kebebasan antara mengizinkan atau menolak tamu. Demikianlah adab yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Musa Al Asy'ari Radhiyallahu 'anhu, Beliau bersabda:
"Jika salah seorang dari kamu sudah meminta izin sebanyak tiga kali, namun tidak diberi izin, maka kembalilah". [Hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim].
LARANGAN MENGINTIP KE DALAM RUMAH ORANG LAINSering kita jumpai orang-orang yang jahil tentang tuntunan syari'at, karena terdorong rasa ingin tahu, ia mengintip ke dalam rumah orang lain. Baik karena salam yang tak terjawab, atau hanya sekedar iseng. Mereka tidak menyadari, bahwa perbuatan seperti ini diancam keras oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Beliau bersabda:
"Sekiranya ada seseorang yang mengintip rumahmu tanpa izin, lalu engkau melemparnya dengan batu hingga tercungkil matanya, maka tiada dosa atasmu". [Hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim].
Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Sahal bin Saad As Sa'idi Radhiyallahu 'anhu, ia mengabarkan bahwasanya seorang laki laki mengintip pada lubang pintu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika itu, Beliau tengah membawa sebuah sisir yang biasa Beliau gunakan untuk menggaruk kepalanya. Ketika melihatnya, Beliau bersabda: "Seandainya aku tahu engkau tengah mengintipku, niscaya telah aku lukai kedua matamu dengan sisir ini". Beliau bersabda: "Sesungguhnya permintaan izin itu diperintahakan untuk menjaga pandangan mata." [Hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim].
Demikianlah beberapa perkara yang harus diperhatikan ketika hendak memasuki rumah orang lain, kecuali rumah-rumah yang tidak didiami oleh seorangpun, dan ia ada keperluan di dalamnya. Seperti rumah yang memang disediakan untuk para tamu, jika di awal ia telah diberi izin, maka cukuplah baginya. Demikian juga tempat-tempat umum, seperti tempat-tempat jualan, penginapan dan lain sebagainya.
Kini muncul pertanyaan, apakah kita juga harus meminta izin ketika hendak masuk menemui salah seorang anggota keluarga kita? Berikut ini perinciannya.
SEORANG LAKI-LAKI HARUS MEMINTA IZIN KETIKA HENDAK MASUK MENEMUI IBUNYASeorang anak laki laki yang telah baligh, wajib meminta izin secara mutlak ketika hendak masuk menemui ibunya.
Di dalam kitab Adabul Mufrad, Imam Al Bukhari menyebutkan sebuah riwayat dari Muslim bin Nadzir, bahwasanya ada seorang laki laki bertanya kepada Hudzaifah Ibnul Yaman: "Apakah saya harus meminta izin ketika hendak masuk menemui ibuku?" Maka ia menjawab: "Jika engkau tidak meminta izin, niscaya engkau akan melihat sesuatu yang tidak engkau sukai." [Hadits mauquf shahih].
Demikian juga riwayat dari Alqamah, ia berkata: Seorang laki laki datang kepada Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu dan berkata: "Apakah aku harus meminta jika hendak masuk menemui ibuku?" Maka ia menjawab: "Tidaklah dalam semua keadaannya ia suka engkau melihatnya." [Hadits mauquf shahih].
SEORANG LAKI-LAKI HARUS MEMINTA IZIN KETIKA HENDAK MENEMUI SAUDARA PEREMPUANNYADemikian juga seorang laki laki baligh, harus meminta izin ketika hendak masuk menemui saudara perempuannya.
Di dalam kitab Al Adabul Mufrad, Imam Al Bukhari menyebutkan sebuah riwayat dari Atha'. Dia berkata, aku bertanya kepada Ibnu 'Abbas: "Apakah aku harus meminta izin jika hendak masuk menemui saudara perempuanku?" Dia menjawab,”Ya.” Aku mengulangi pertanyaanku: "Dua orang saudara perempuanku berada di bawah tanggunganku. Aku yang mengurus dan membiayai mereka. Haruskah aku meminta izin jika hendak masuk menemui mereka?" Maka dia menjawab,”Ya. Apakah engkau suka melihat mereka berdua dalam keadaan telanjang?" [Hadits mauquf shahih].
PERINTAH KEPADA ORANG TUA AGAR MENGAJARI ANAK-ANAK DAN PARA PELAYANNYA TENTANG KEHARUSAN MEMINTA IZIN PADA TIGA WAKTUDi dalam Al Qur’an surat An Nur ayat 58, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum baligh diantara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari), yaitu: sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari, dan sesudah sesudah shalat Isya'. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana".
Dalam ayat di atas Allah memerintahkan kaum mukminin, agar para pelayan yang mereka miliki dan anak-anak yang belum baligh meminta izin kepada mereka pada tiga waktu.
Pertama : Sebelum shalat subuh, karena biasanya orang-orang pada waktu itu sedang nyenyak tidur di pembaringan mereka.
Kedua : Ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari”, yaitu pada waktu tidur siang, karena pada saat itu orang-orang melepas pakaian mereka untuk bersantai bersama keluarga.
Ketiga : Sesudah sesudah shalat Isya, karena saat itu adalah waktu tidur.
Pelayan dan anak-anak diperintahkan agar tidak masuk menemui ahli bait pada waktu-waktu tersebut, karena dikhawatirkan seseorang sedang bersama isterinya, atau sedang melakukan hal-hal yang bersifat pribadi.
Oleh sebab itu, Allah mengatakan: "Itulah tiga 'aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu", yakni jika mereka masuk pada waktu di luar tiga waktu tersebut, maka tiada dosa atas kamu bila membuka kesempatan buat mereka (untuk masuk), dan tiada dosa atas mereka bila melihat sesuatu di luar tiga waktu tersebut. Karena mereka telah diizinkan untuk masuk menemui kalian, karena mereka keluar masuk untuk melayani kamu atau untuk urusan lainnya.
Para pelayan yang biasa keluar masuk diberi dispensasi yang tidak diberikan kepada selain mereka. Oleh karena itu, Imam Malik, Imam Ahmad dan penulis kitab Sunan meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang kucing:
"Ia (kucing) tidaklah najis, karena ia selalu berkeliaran di sekitar kamu".
Selanjutnya Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin", yakni apabila anak-anak yang sebelumnya harus meminta izin pada tiga waktu yang telah disebutkan di atas. Apabila mereka telah mencapai usia baligh, mereka wajib meminta izin di setiap waktu, seperti halnya orang-orang dewasa dari putera seseorang, atau dari kalangan karib-kerabatnya wajib meminta izin.
Al Auza'i meriwayatkan dari Yahya bin Abi Katsir, ia mengatakan: "Apabila seorang anak masih balita, ia harus meminta izin kepada kedua orang tuanya (bila ingin masuk menemui keduanya dalam kamar) pada tiga waktu tersebut. Apabila ia telah mencapai usia baligh ia harus meminta izin di setiap waktu."
Demikianlah paparan singkat tentang perkara-perkara yang berkaitan dengan adab-adab isti'dzan. Mudah-mudahan dapat memambah pemahaman kita tentang ajaran Islam dalam membimbing umat manusia, guna memperoleh seluruh kemashlahatan dan menggapai kabahagiaan hidup di dunia dan di dunia dan akhirat.
Kirimkan teman lain ingin ikut membaca juga. Terimakasih
Harus kah dgn bencana untuk membuka sifat sifat nasionalisme..,sosialisme atau sekedar cari sensasi dan pandangan seperti madit al musyawaroh dalam islam ktp.. harus kah dgn bencana untuk membuka mata mereka para penumpuk penumpuk harta.. Al-Humazah:...001 / 009 .. Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela,.. yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung.. dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya,.. sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah... Dan tahukah kamu apa Huthamah itu?.. (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan,... yang (membakar) sampai ke hati... Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka,.. (sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang.... ya robb.. berikan lah kekuatan kesabaran saudara saudara kami yg tertimpa bencana dan ke fakiran. ya robb.. berikan lah kekuatan kpd kami untuk selalu bersama membantu orang orang yg membutuhkan pertolongan.... wahai Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari hilangnya nikmat yang ...Engkau karuniai, siksaan Engkauang datang tiba-tiba dan segenap murkaMu" “…Dan tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa y dan janganlah kalian tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaan-Nya“. Al-Ma’idah:2 Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu, dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :siapa yang menyelesaikan kesulitan seorang mu’min dari berbagai kesulitan-kesulitan dunia, niscaya Allah akan memudahkan kesulitan-kesulitannya hari kiamat....Dan siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan niscaya akan Allah mudahkan baginya di dunia dan akhirat.... "Naungan orang beriman di hari akhirat adalah sedekah," (HR. Ahmad) "Janganlah kamu meremehkan sedikitpun perbuatan ma'ruf, sekalipun kamu sekedar menemui saudaramu dg wajah berseri," ...(HR Muslim) Mari kita berbuat kebaikan meskipun hanya memberikan senyuman... berkata yg menyejukkan hati... sesungguhnya ALLAH bersama orang orang yg sabar...!!!
Kirimkan teman lain ingin ikut membaca juga. Terimakasih
Inilah kasus yang terjadi di negeri kita. Wukuf di Arofah ternyata lebih duluan dari 9 Dzulhijah di Indonesia.
Permasalahan ini sering muncul dari berbagai pihak ketika menghadapi hari Arofah. Ketika para jama’ah haji sudah wukuf tanggal 9 Dzulhijah di Saudi Arabia, padahal di Indonesia masih tanggal 8 Dzulhijah, mana yang harus diikuti dalam puasa Arofah? Apakah ikut waktu jama’ah haji wukuf atau ikut penanggalan Hijriyah di negeri ini sehingga puasa Arofah tidak bertepatan dengan wukuf di Arofah?
Syaikh Muhammad bin Sholih ‘Utsamin pernah diajukan pertanyaan:
Kami khususnya dalam puasa Ramadhan mubarok dan puasa hari Arofah, di antara saudara-saudara kami di sini terpecah menjadi tiga pendapat.
Pendapat pertama: kami berpuasa bersama Saudi Arabia dan juga berhari Raya bersama Saudi Arabia.
Pendapat kedua: kami berpuasa bersama negeri kami tinggal dan juga berhari raya bersama negeri kami.
Pendapat ketiga: kami berpuasa Ramadhan bersama negeri kami tinggal, namun untuk puasa Arofah kami mengikuti Saudi Arabia.
Kami mengharapkan jawaban yang memuaskan mengenai puasa bulan Ramadhan dan puasa Hari Arofah. Kami memberikan sedikit informasi bahwa lima tahun belakangan ini, kami tidak pernah bersamaan dengan Saudi Arabia ketika melaksanakan puasa Ramadhan dan puasa Arofah. Biasanya kami di negeri ini memulai puasa Ramadhan dan puasa Arofah setelah pengumuman di Saudi Arabia. Kami biasa telat satu atau dua hari dari Saudi, bahkan terkadang sampai tiga hari. Semoga Allah senantiasa menjaga antum.
Syaikh menjawab:
Perlu diketahui bahwa para ulama berselisih pendapat dalam masalah ru’yah hilal apabila di satu negeri kaum muslimin telah melihat hilal sedangkan negeri lain belum melihatnya. Apakah kaum muslimin di negeri lain juga mengikuti hilal tersebut ataukah hilal tersebut hanya berlaku bagi negeri yang melihatnya dan negeri yang satu matholi’ (tempat terbit hilal) dengannya.
Pendapat yang lebih kuat adalah kembali pada ru’yah hilal di negeri setempat. Jika dua negeri masih satu matholi’ hilal, maka keduanya dianggap sama dalam hilal. Jika di salah satu negeri yang satu matholi’ tadi telah melihat hilal, maka hilalnya berlaku untuk negeri tetangganya tadi. Adapun jika beda matholi’ hilal, maka setiap negeri memiliki hukum masing-masing. Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Pendapat inilah yang lebih bersesuaian dengan Al Qur’an, As Sunnah dan qiyas.
“Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 185). Dipahami dari ayat ini, barang siapa yang tidak melihat hilal, maka ia tidak diharuskan untuk puasa.
Adapun dalil dari As Sunnah, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Jika kalian melihat hilal Ramadhan, maka berpuasalah. Jika kalian melihat hilal Syawal, maka berhari rayalah.” (HR. Bukhari no. 1900 dan Muslim no. 1080). Dipahami dari hadits ini, siapa saja yang tidak menyaksikan hilal, maka ia tidak punya kewajiban puasa dan tidak punya keharusan untuk berhari raya.
Adapun dalil qiyas, mulai berpuasa dan berbuka puasa hanya berlaku untuk negeri itu sendiri dan negeri yang terbit dan tenggelam mataharinya sama. Ini adalah hal yang disepakati. Engkau dapat saksikan bahwa kaum muslimin di negeri timur sana -yaitu Asia-, mulai berpuasa sebelum kaum muslimin yang berada di sebelah barat dunia, begitu pula dengan buka puasanya. Hal ini terjadi karena fajar di negeri timur terbit lebih dulu dari negeri barat. Begitu pula dengan tenggelamnya matahari lebih dulu di negeri timur daripada negeri barat. Jika bisa terjadi perbedaan sehari-hari dalam hal mulai puasa dan berbuka puasa, maka begitu pula hal ini bisa terjadi dalam hal mulai berpuasa di awal bulan dan mulai berhari raya. Keduanya tidak ada bedanya.
Akan tetapi yang perlu jadi perhatian, jika dua negeri yang sama dalam matholi’ (tempat terbitnya hilal), telah diputuskan oleh masing-masing penguasa untuk mulai puasa atau berhari raya, maka wajib mengikuti keputusan penguasa di negeri masing-masing. Masalah ini adalah masalah khilafiyah, sehingga keputusan penguasalah yang akan menyelesaikan perselisihan yang ada.
Berdasarkan hal ini, hendaklah kalian berpuasa dan berhari raya sebagaimana puasa dan hari raya yang dilakukan di negeri kalian (yaitu mengikuti keputusan penguasa). Meskipun memulai puasa atau berpuasa berbeda dengan negeri lainnya. Begitu pula dalam masalah puasa Arofah, hendaklah kalian mengikuti penentuan hilal di negeri kalian.
[Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 19/24-25, Darul Wathon – Darul Tsaroya, cetakan terakhir, tahun 1413 H]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin juga mendapat pertanyaan sebagai berikut, “Jika terdapat perbedaan tentang penetapan hari Arofah disebabkan perbedaan mathla’ (tempat terbit bulan) hilal karena pengaruh perbedaan daerah. Apakah kami berpuasa mengikuti ru’yah negeri yang kami tinggali ataukah mengikuti ru’yah Haromain (dua tanah suci)?”
Syaikh rahimahullah menjawab:
“Permasalahan ini adalah turunan dari perselisihan ulama apakah hilal untuk seluruh dunia itu satu ataukah berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah. Pendapat yang benar, hilal itu berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah.
Misalnya di Makkah terlihat hilal sehingga hari ini adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Sedangkan di negara lain, hilal Dzulhijjah telah terlihat sehari sebelum ru’yah Makkah sehingga tanggal 9 Dzulhijjah di Makkah adalah tanggal 10 Dzulhijjah di negara tersebut. Tidak boleh bagi penduduk Negara tersebut untuk berpuasa Arofah pada hari ini karena hari ini adalah hari Iedul Adha di negara mereka.
Demikian pula, jika kemunculan hilal Dzulhijjah di negara itu selang satu hari setelah ru’yah di Makkah sehingga tanggal 9 Dzulhijjah di Makkah itu baru tanggal 8 Dzulhijjah di negara tersebut. Penduduk negara tersebut berpuasa Arofah pada tanggal 9 Dzulhijjah menurut mereka meski hari tersebut bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah di Mekkah.
Inilah pendapat yang paling kuat dalam masalah ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian melihat hilal Ramadhan hendaklah kalian berpuasa dan jika kalian melihat hilal Syawal hendaknya kalian berhari raya” (HR Bukhari dan Muslim).
Orang-orang yang di daerah mereka hilal tidak terlihat maka mereka tidak termasuk orang yang melihatnya.
Sebagaimana manusia bersepakat bahwa terbitnya fajar serta tenggelamnya matahari itu mengikuti daerahnya masing-masing, demikian pula penetapan bulan itu sebagaimana penetapan waktu harian (yaitu mengikuti daerahnya masing-masing)”.
[Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 20/47-48, Darul Wathon – Darul Tsaroya, cetakan terakhir, tahun 1413 H]
***
Demikian penjelasan dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah. Intinya, kita tetap berpuasa Ramadhan, berhari raya dan berpuasa Arofah sesuai dengan penetapan hilal yang ada di negeri ini, walaupun nantinya berbeda dengan puasa, hari raya atau wukuf di Saudi Arabia.
Hanya Allah yang memberi taufik.
Kirimkan teman lain ingin ikut membaca juga. Terimakasih
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir zaman.
Alhamdulillah, saat ini kita menginjak 10 Dzulhijah, hari raya umat Islam dan besoknya kita pun akan menikmati hari-hari tasriq. Insya Allah dalam tulisan kali ini, kami berusaha menyajikan suatu pembahasan mengenai amalan-amalan di hari tasyriq. Semoga bermanfaat.
Hari ‘Ied Kaum Muslimin
Hari Arofah, hari Idul Adha dan hari Tasyriq termasuk hari ‘ied kaum muslimin. Disebutkan dalam hadits,
“Hari Arofah, hari Idul Adha dan hari-hari Tasyriq adalah ‘ied kami -kaum muslimin-. Hari tersebut (Idul Adha dan hari Tasyriq) adalah hari menyantap makan dan minum.”[1]
Hari Idul Adha dan Hari Tasyriq, Hari Yang Paling Mulia
Mengenai keutamaan hari Idul Adha dan hari tasyriq (11, 12 dan 13 Dzulhijah) disebutkan dalam hadits yang dikeluarkan oleh Abu Daud,
“Sesungguhnya hari yang paling mulia di sisi Allah Tabaroka wa Ta’ala adalah hari Idul Adha dan yaumul qorr (hari tasyriq).”[2] Hari tasyriq disebut yaumul qorr karena pada saat itu orang yang berhaji berdiam di Mina. Hari tasyriq yang terbaik adalah hari tasyriq yang pertama, kemudian yang berikutnya dan berikutnya lagi.[3]
Hari Idul Adha dan Hari Tasyriq, Hari Bersenang-senang untuk Menyantap Makanan
Begitu pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa Idul Adha dan hari tasyriq adalah hari kaum muslimin untuk menikmati makanan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
“Hari-hari tasyriq adalah hari menikmati makanan dan minuman.”[4]
Dalam lafazh lainnya, beliau bersabda,
وَأَيَّامُ مِنًى أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
“Hari Mina (hari tasyriq) adalah hari menikmati makanan dan minuman.”[5]
Yang dimaksud dengan hari Mina di sini adalah ayyam ma’dudaat sebagaimana yang disebutkan dalam ayat,
وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ
“Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang terbilang.” (QS. Al Baqarah: 203) Yang dimaksud hari yang terbilang adalah hari-hari setelah hari Idul Adha (hari an nahr) yaitu hari-hari tasyriq. Inilah pendapat Ibnu ‘Umar dan pendapat kebanyakan ulama. Namun Ibnu ‘Abbas dan ‘Atho’ mengatakan bahwa hari yang terbilang di situ adalah empat hari yaitu hari Idul Adha dan tiga hari sesudahnya. Hari-hari tersebut disebut hari Tasyriq. Namun pendapat pertama yang menyatakan bahwa hari yang terbilang adalah tiga hari sesudah Idul Adha adalah pendapat yang lebih tepat.[6]
Hari Tasyriq, Hari Berdzikir
Sebagaimana disebutkan dalam surat Al Baqarah ayat 203 di atas (yang artinya), “Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang terbilang.” Ini menunjukkan adanya perintah berdzikir di hari-hari tasyriq.
Lalu apa saja dzikir yang dimaksudkan ketika itu? Beberapa dzikir yang diperintahkan oleh Allah di hari-hari tasyriq ada beberapa macam:
Pertama: berdzikir kepada Allah dengan bertakbir setelah selesai menunaikan shalat wajib. Ini disyariatkan hingga akhir hari tasyriq sebagaimana pendapat mayoritas ulama. Hal ini juga diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Ali dan Ibnu Abbas.
Kedua: membaca tasmiyah (bismillah) dan takbir ketika menyembelih qurban. Dan waktu menyembelih qurban adalah sampai akhir hari tasyriq (13 Dzulhijah) sebagaimana pendapat mayoritas ulama. Pendapat ini juga menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad. Namun mayoritas sahabat berpendapat bahwa waktu menyembelih qurban hanya tiga hari yaitu hari Idul Adha dan dua hari tasyriq setelahnya (11 dan 12 Dzulhijah). Pendapat kedua ini adalah pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad, juga termasuk pendapat Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan kebanyakan ulama.
Ketiga: berdzikir memuji Allah Ta’ala ketika makan dan minum. Yang disyari’atkan ketika memulai makan dan minum adalah membaca basmallah dan mengakhirinya dengan hamdalah.
Keempat: berdzikir dengan takbir ketika melempar jumroh di hari tasyriq. Dan amalan ini khusus untuk orang yang berhaji.
Kelima: Berdzikir pada Allah secara mutlak karena kita dianjurkan memperbanyak dzikir di hari-hari tasyriq. Sebagaimana ‘Umar ketika itu pernah berdzikir di Mina di kemahnya, lalu manusia mendengar. Mereka pun bertakbir dan Mina akhirnya penuh dengan takbir.[7]
“Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia", dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Robbana aatina fid dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah wa qina ‘adzaban naar” [Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka].” (QS. Al Baqarah: 200-201)
Dari ayat ini kebanyakan ulama salaf menganjurkan membaca do’a “Robbana aatina fid dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah wa qina ‘adzaban naar” di hari-hari tasyriq. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh ‘Ikrimah dan ‘Atho’.
Do’a sapu jagad ini terkumpul di dalamnya seluruh kebaikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam paling sering membaca do’a sapu jagad ini. Anas bin Malik mengatakan,
كَانَ أَكْثَرُ دُعَاءِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - « اللَّهُمَّ رَبَّنَا آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً ، وَفِى الآخِرَةِ حَسَنَةً ، وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ »
“Do’a yang paling banyak dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Allahumma Robbana aatina fid dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah wa qina ‘adzaban naar” [Wahai Allah, Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka].”[8]
Di dalam do’a telah terkumpul kebaikan di dunia dan akhirat.
Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Kebaikan di dunia adalah ilmu dan ibadah. Kebaikan di akhirat adalah surga.” Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Kebaikan di dunia adalah ilmu dan rizki yang thoyib. Sedangkan kebaikan di akhirat adalah surga.”
Dan do’a juga termasuk dzikir, bahkan do’a termasuk dzikir yang paling utama.
Diriwayatkan dari Al Jashshosh, dari Kinanah Al Qurosy, dia mendengar Abu Musa Al Asy’ariy berkata ketika berkhutbah di hari An Nahr (Idul Adha), “Tiga hari setelah hari An Nahr (yaitu hari-hari tasyriq), itulah yang disebut oleh Allah dengan ayyam ma’dudat (hari yang terbilang). Do’a pada hari tersebut tidak akan tertolak (pasti terkabul), maka segeralah berdo’a dengan berharap pada-Nya.”[9]
Banyak Bersyukurlah pada Allah di Hari Tasyriq
Pada hari tasyriq terkumpullah berbagai macam nikmat badaniyah dengan makan dan minum, juga terdapat nikmat qolbiyah (nikmat hati) dengan berdzikir kepada Allah. Dan sebaik-baik hati adalah yang sering berdzikir dan bersyukur. Dengan demikian nikmat-nikmat tersebut akan menjadi sempurna. Jika kita diberi taufik untuk mensyukuri nikmat, maka syukur yang baru itu sendiri adalah nikmat. Sehingga perintah syukur selamanya tidak akan usai.
Seorang penyair mengatakan:
Idza kana syukri ni’matallah ni’matan, ‘alayya lahu fi mitsliha yajibusy syukr
Jika mensyukuri nikmat Allah adalah nikmat, maka karena nikmat semisal inilah, kita wajib bersyukur pula.[10]
Makan dan Minum di Hari Tasyriq untuk Memperkuat Ibadah
Hari tasyriq disebut dengan hari makan dan minum, juga dzikir pada Allah. Hal ini pertanda bahwa makan dan minum di hari raya seperti ini dapat menolong kita untuk berdzikir dan melakukan ketaatan pada-Nya. Dengan inilah semakin sempurna rasa syukur terhadap nikmat dapat menolong dalam ketaatan pada Allah. Oleh karena itu, barangsiapa menggunakan nikmat Allah untuk bermaksiat, berarti dia telah kufur pada nikmat.
Maksiat inilah yang nantinya akan menghilangkan nikmat. Sedangkan bersyukur pada Allah itulah nanti yang akan menghilangkan bencana.[11]
Semoga kita dimudahkan untuk beramal sholeh dan selalu dimudahkan mendapat ilmu yang bermanfaat, juga semoga kita termasuk hamba Allah yang bersyukur atas segala nikmat.
Kirimkan teman lain ingin ikut membaca juga. Terimakasih
Hari Arofah adalah hari di mana Allah menyempurnakan Islam dan menyempurnakan nikmat-Nya ketika itu. Hari Arofah adalah hari haji Akbar menurut mayoritas salaf. Hari Arofah juga adalah hari istimewa bagi umat ini.
Anas bin Malik pernah mengatakan, “Hari Arofah lebih utama dari 10.000 hari-hari lainnya.”[1] Siapa saja yang berpuasa ketika itu akan mendapatkan ampunan dosa (yaitu dosa kecil) untuk dua tahun.
Mengenai hari Arofah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Di antara hari yang Allah banyak membebaskan seseorang dari neraka adalah hari Arofah. Dia akan mendekati mereka lalu akan menampakkan keutamaan mereka pada para malaikat. Kemudian Allah berfirman: Apa yang diinginkan oleh mereka?”[2]
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hari Arofah adalah hari pembebasan dari api neraka. Pada hari itu, Allah akan membebaskan siapa saja yang sedang wukuf di Arofah dan penduduk negeri kaum muslimin yang tidak melaksanakan wukuf. Oleh karena itu, hari setelah hari Arofah –yaitu hari Idul Adha- adalah hari ‘ied bagi kaum muslimin di seluruh dunia. Baik yang melaksanakan haji dan yang tidak melaksanakannya sama-sama akan mendapatkan pembebasan dari api neraka dan ampunan pada hari Arofah.”[3]
Ibnu Rajab selanjutnya menjelaskan bahwa siapa yang ingin mendapatkan pembebasan dari api neraka dan pengampunan dosa pada hari Arofah, maka lakukanlah hal-hal berikut.[4]
Pertama: Melaksanakan puasa Arofah. Dari Abu Qotadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Puasa Arofah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.”[5]
Kedua: Menjaga anggota badan dari hal-hal yang diharamkan pada hari tersebut.
Ketiga: Memperbanyak syahadat tauhid, keikhlasan dan kejujuran pada hari tersebut karena semuanya tadi adalah asas agama ini yang Allah sempurnakan pada hari Arofah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri sering memperbanyak hal-hal tadi dan beliau menyebutkannya setelah menyebutkan bahwa do’a pada hari Arofah adalah sebaik-baik do’a. Disebutkan dalam hadits,
“Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arofah. Dan sebaik-baik yang kuucapkan, begitu pula diucapkan oleh para Nabi sebelumku adalah ucapan “Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘ala kulli sya-in qodiir (Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Miliki-Nya segala kerajaan, segala pujian dan Allah yang menguasai segala sesuatu)”.”[6]
Keempat:Memerdekakan seorang budak jika mampu. Karena barangsiapa yang memerdekakan seorang budak mukmin, maka Allah akan membebaskan anggota tubuhnya dari api neraka karena anggota tubuh budak yang ia merdekakan.
Kelima: Memperbanyak do’a ampunan dan pembebasan dari api neraka ketika itu karena hari Arofah adalah hari terkabulnya do’a. Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ
“Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arofah.”[7]
Dan untuk mendapatkan pembebasan dari api neraka dan pengampunan dosa, hendaklah pula dijauhi segala dosa yang dapat menghalangi dari mendapatkan ampunan. Di antara yang harus dijauhi adalah:
Pertama: Sifat sombong dan takabbur. Allah Ta’ala berfirman,
وَاللَّهُ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
“Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al Hadid: 23)
Sebagaimana pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
“Allah tidak akan memandang siapa saja yang menjulurkan celananya (di bawah mata kaki) dengan sombong.”[8]
Kedua: Tidak terus menerus dalam melakukan dosa-dosa besar (al kaba-ir).[9]
Itulah yang dinasehatkan oleh Ibnu Rajab agar seseorang bisa mendapatkan ampunan dan pembebasan dari api neraka pada hari Arofah.
Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang mendapatkan ampunan dan pembebasan dari api neraka pada hari tersebut.
Ya Allah, terimalah setiap amalan kami di hari Arofah yang mulia ini dan jadikanlah kami termasuk orang-orang yang mendapatkan pengampunan dosa dan pembebasan dari api neraka. Sesungguhnya engkau Maha Mengijabahi setiap do’a-do’a kami.
Kirimkan teman lain ingin ikut membaca juga. Terimakasih
"Ada empat hal yang tidak pernah ditinggal Nabi a; puasa pada hari Asyura' (tanggal 10 Muharram), puasa pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, puasa tiga hari setiap bulan dan shalat dua rakaat sebelum shalat Subuh." [Hadits ini dha'if dan dikeluarkan oleh an-Nasa'i (2371, 2416, 2417); Abu Daud (2437); Ahmad (5/271) (6/288, 423) melalui jalan Abu Awanah dari al-Har bin ash-Shayyah dari Hunaidah bin Khalid al-Khuza'i] .Namun ULama mengkompromikan masalah ini yaitui, "Pemahaman hadits adalah bahwa Aisyah tidak melihat Rasulullah berpuasa dan itu tidak berar-ti beliau tidak melakukannya. Sebab beliau bersamanya sehari dalam sembilan hari dan selebihnya bersama istri-istrinya yang lain. Atau mungkin Rasulullah a kadang berpuasa beberapa hari, kadang ber-puasa semua hari dan kadang pula tidak berpuasa sama sekali karena ada halangan, seperti dalam perjalanan, sakit atau lainnya."Komentar Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma'ad (2/65), Adapun puasa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah masih menjadi perbedaan pendapat. Aisyah mengatakan, "Aku tidak pernah melihat Rasulullah berpuasa pada sepuluh hari pertama bulan Dzul-hijjah." Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim. Sementara Hafshah mengatakan, "Ada empat hal yang tidak pernah ditinggalkan Nabi, yaitu puasa hari Asyura', puasa sepuluh hari pertama bulan Dzulhij-jah, puasa tiga hari setiap bulan dan dua rakaat sunnah Fajar." [Hadits ini disebutkan oleh Imam Ahmad 5].
Kirimkan teman lain ingin ikut membaca juga. Terimakasih